Selasa, 13 September 2011

Tendangan Dari Langit

Cast : Yosie Kristanto, Maudy Ayunda, Giorgino Abraham, Jordi Onsu, Joshua Suherman, Agus Kuncoro, Sujiwo Tedjo, Yati Surachman, Irfan Bachdim, Kim Kurniawan.
Directed : Hanung Bramantyo
Realese Date : August 25, 2011

RATE (1-5) : 4,5 Bintang

Jujur saja, sebelum menonton film ini ekspektasi saya tidaklah besar. Saya percaya, Hanung Bramantyo adalah sutradara yang bagus dan film-filmnya tidak mengecewakan. Kala itu iya mengangkat Brownies sebagai bahan dasar film pertamanya. Hasilnya, ia menyapu bersih seluruh nominasi yang diperlombakan pada FFI 2005, bahkan membawa pulang Piala Citra untuk kategori Sutradara Terbaik. Kemudian berhasil meraih angka 1 juta lebih penonton pada komedi besutannya, Get Married. Setelahnya, ia semakin berjaya lewat Ayat-Ayat Cinta yang kemudian melanjutkan ‘dakwah’nya di film Perempuan Berkalung Sorban, Sang Pencerah, dan ? (Tanda Tanya). ‘Multilevel Marketing’-pun ia angkat dalam film Menebus Impian.



Jauh sebelum film ini rilis, muncul The Conductor (2008) yang disutradarai Andi Yusuf Bactiar yang bertutur tentang dirigen atau konduktor sepakbola Arema Malang. Pada tahun yang sama, Gara-Gara Bola juga hadir dengan mengangkat tema Sepakbola pada musim Piala Dunia. Setahun kemudian film bertema sejenis kembali dirilis. Drama Romeo Juliet bercerita tentang persaingan yang terjadi antar supporter Persib dan Persija. Dan yang paling gemilang adalah Garuda Didadaku dengan tokoh Bayu, anak kelas 6 sekolah dasar yang bertekad mengikuti seleksi Tim-Nas U-13 yang mewakili Indonesia di ajang Internasional.Suksesnya kemudian diikuti dengan sekuelnya yang juga akan tayang akhir tahun ini, Garuda Didadaku 2. Pertanyaan terbesar saya sebelum menonton film ini, berhasilkah Hanung Bramantyo mengaplikasikan olahraga Sepakbola sebagai ‘mainan’ baru dalam filmnya?



Wahyu (16 tahun) memiliki kemampuan luar biasa dalam bermain sepakbola. Ia tinggal di Desa Langitan di lereng gunung Bromo bersama ayahnya seorang penjual minuman hangat di kawasan wisata gunung api itu, dan ibunya. Demi membahagiakan orang tuanya, Wahyu memanfaatkan keahliannya dalam bermain bola dengan menjadi pemain sewaan dan bermain bola dari satu tim desa ke tim desa lain dengan bantuan Hasan, pamannya. Sayangnya Pak Darto, ayah Wahyu sangat tidak menyukai apa yang dilakukan anaknya. Suatu hari saat Wahyu bermain bola dengan rekan-rekannya, keahlian istimewanya tak sengaja dilihat oleh Coach Timo yang tengah hiking bersama Matias di lereng Bromo. Coach Timo kemudian menawari Wahyu untuk datang ke Malang dan menjalani tes bersama Persema Malang. Sayangnya, berbagai ujian dalam meraih kesempatan emas bermain bersama Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan di Persema mendapat banyak halangan. Selain harus memilih antara cintanya kepada Indah dan impiannya untuk bermain bola di jenjang yang lebih tinggi, Wahyu juga harus mampu meyakinkan Pak Darto. Belum lagi ternyata Hasan memiliki kepentingannya sendiri terhadap Wahyu. Selain berbagai rintangan yang harus ia hadapi, layaknya seorang pemain bola sebelum mencetak gol, Wahyu juga harus menghadapi tantangan terakhir dari dirinya sendiri. Sebuah penyakit yang biasa menyerang anak-anak usia enam belas tahun seperti Wahyu (synopsis from : http://www.21cineplex.com/tendangan-dari-langit-tend,movie,2585.htm )



Menonton filmnya dari awal sampai akhir membuat. Keberhasilan sang istri, Saskya Adya Mecca sebagai casting director sungguh berperan sangat besar dalam film ini. Akting seluruh pemain terasa imbang tanpa cacat. Dimulai dari Wahyu, orang tua nya, teman-teman hingga pemeran pendukung lainnya pun seluruhnya memukau. Tidak berlebihan namun pas. Tentu menjadi hal yang sangat berpengaruh pada hasil keseluruhan filmnya. Chemistry antara pemain satu dengan pemain yang lain, semuanya berhasil sehingga filmnya bertutur sangat rapi dan tidak neko-neko.Intrik yang ditawarkan sebenarnya sederhana namun tidak membuat filmnya terasa garing ataupun membosankan. Emosi penonton berhasil dimainkan dan membuat kita terbawa akan arus filmnya. Disaat bagian yang melucu kita benar-benar bisa tertawa, begitupun dengan adegan-adegan yang lain. Disini terlihat jelas keberhasilan Hanung Bramantyo dalam meramu film terbarunya.



Keberhasilan lain turut didukung Tya Subiakto dalam music director, dan Band Kotak sebagai Ost. Tendangan Dari Langit. Sebuah kolaborasi yang semuanya memukau. Rasanya bukan suatu hal yang sulit untuk meraup banyak penonton karena sepakbola adalah salahsatu olahraga yang banyak digandrungi masyarakat Indonesia, bahkan yang kurang senang dengan sepakbolapun rasanya sah-sah saja jika turut menyaksikan salah satu film terbaik ditahun 2011 ini. Ringan namun fresh.



Hanung kembali menyumbang satu film berkualitas yang akan menjadi koleksi film Indonesia yang patut diperkenalkan. Seluruh poin utama berhasil dirangkum dalam film ini. Dimana poin terpenting dari film ini adalah, Hanung dengan sangat akurat berhasil menggambarkan hiruk-pikuk sepakbola seperti apa. Semuanya terlihat seperti nyata. Two tumbs up (y)

Di Bawah Lindungan Ka'bah

Cast : Laudya Cinthya Bella, Herjunot Ali, Niken Anjani, Tarra Budiman, Hj. Jenny Rachman, Widyawati, Didi Petet, Leroy Osmani
Directed : Hanny R. Saputra
Release Date : August 25, 2011

RATE (1-5) : 2 Bintang

Seperti yang kita ketahui tren “based on novel best seller” tidak hanya ramai dilakukan sineas luar namun kini juga tengah ramai di sadur oleh sinelas lokal. Bukan satu dua kali bahkan sejak tahun hampir 2008 dimana Ayat-Ayat Cinta laku keras dilanjutkan dengan Laskar Pelangi ditahun yang ditonton 4 juta lebih pasang mata hampir setiap tahunnya diproduksi film berdasarkan novel laris. Setelah Tetralogi Laskar Pelangi yang (masih) akan difilmkan, Perempuan Berkalung Sorban, Syahadat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2, sampai novel bergenre thiller Jejak Darah, tahun ini bertepatan dengan Lebaran Idul Fitri, Di Bawah Lindungan Ka'bah yang telah banyak dibicarakan jauh sebelum filmnya tayang, akhirnya rilis juga!






Hamid dan Zainab berasal dari dua keluarga dengan tingkat sosial yang berbeda. Hamid yang berasal dari keluarga miskin dan Zainab yang berasal dari keluarga kaya. Hamid mendapat dukungan dana sekolah dari ayah Zainab, ibu Hamid pun bekerja di rumah keluarga Zainab. Pertemuan demi pertemuan membuat keduanya, Hamid dan Zainab, kemudian saling jatuh cinta. Mereka berbagi impian yang sama, yaitu tiap manusia bebas untuk mencintai dan dicintai, dan impian untuk menunaikan ibadah haji di Mekah. Hamid melakukan segalanya demi Zainab. Demi mewujudkan cinta mereka. Demi mewujudkan impian itu. Melewati berbagai halangan yang ingin memisahkan mereka, mencoba membuka satu persatu belenggu yang meng atasnama kan adat masa itu. Bahkan ketika keinginannya untuk meminang Zainab pupus sudah, keinginannya untuk mewujudkan impiannya dan Zainab pergi ke Ka’bah tetap ia perjuangkan. Hamid berjuang pergi ke Mekah demi Zainab. Zainab berjuang mempertahankan cintanya demi Hamid (synopsis from : http://www.21cineplex.com/di-bawah-lindungan-ka-bah-bawa,movie,2535.htm )




Banyak yang berasumsi bahwa film ini akan unggul untuk tahun 2011 dimana proses pembuatannya memakan waktu hampir 2 tahun dan meraup biaya produksi yang sangat besar untuk memuat replika ka’bah, kostum serta teknik visual yang berbiaya tinggi.Namun, untuk mengukur kesuksesan sebuah film adaptasi novel, tidak hanya dilihat dari jumlah penonton yang berhasil diraupnya. Film keseluruhan dilihat dari eksekusi dari apa yang telah ada, apalagi Di Bawah Lindungan Ka’bah merupakan sebuah remake dari film yang berjudul sama mengangkat cerita yang bersetting 1920, dan menggunakan ka’bah pula. Hasilnya?



Dari segi artistik, film ini dengan sangat berhasil menampilkan setting 1920 yang begitu nyata. Mulai dari kostum, lokasi syuting filmnya sukses menutupi kemunculan sponsor dibeberapa scene yang terkesan sangat dipaksakan. Replika ka’bah terlihat cukup meyakinkan.Begitupun dengan askah film yang ditulis Titien Wattimena juga tampil dengan seharusnya. Diiringi musik khas Tya Subiakto, menjadi nilai plus dari keseluruhan filmnya.



Sayangnya dari semua nilai positif tersebut, kekecewaan justru berpusat pada cast yang menurut saya sama sekali tidak menuai chemistry. Herjunot Ali terlihat masih sulit melepas karakter bengal di film terdahulunya. Ia tampil sangat mengecewakan. Adegan tertawa yang terasa dipaksakan, sampai adegan menangis yang rasanya too much (mungkin emang mau menunjukkan ke-naturalan dari sosok Hamid ketika bersedih, tapi tetep too much). Jelas, ini kegagalan untuk Herjunot sendiri. Penonton dengan mudahnya akan membanding-bandingkan tampilannya pada dua filmnya dimana ia tampil lebih baik dari film ini, Realita Cinta dan Rock ‘n Roll, dan Gara-Gara Bola.Dilain hal, Laudy Cinthya Bella tidak tampil seburuk Herjunot, tapi jelas ini bukan film terbaik dari Bella sendiri. Hanya Widyawati dan Didi Petet yang tampil meyakinkan. Patut disayangkan setting yang telah di ciptakan dengan begitu baiknya diruntuhkan dengan Hamid dan Zainab yang saya rasa dari awal film tidak berhasil membangun chemisty yang seharusnya.Dibawah Lindungan Ka’bah adalah film yang sangat berpotensi untuk menjadi film yang memuaskan namun ternyata hasilnya cukup gagal. Ekspektasi yang terlanjut tertanam begitu besar hanya akan menambah rasa kecewa yang mendalam.



Dengan hasil demikian, masih besarkah peluang MD Entertainment untuk kembali mendulang sukses Ayat-Ayat Cinta dengan 3,8 juta penonton?
Sepertinya tidak, meningat sang produser sendiri menargetkan 7 Juta penonton pada film ini.
Kita doakan saja :)

Minggu, 11 September 2011

Lima Elang

Cast : Christoffer Nelwan, Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan, Bastian Bintang Simbolon, Teuku Rizky Muhammad, Monica Sayangbati, Junior Liem
Directed : Rudi Soedjarwo
Release Date : August 25, 2011

RATE (1-5) : 3 Bintang

Dalam menonton sebuah film, penting rasanya untuk mengetahui dengan jelas terlebih dahulu seperti apa jenis film yang akan ditonton. Mengapa demikian? Menciptakan suatu ekspektasi adalah hal yang wajar sebelum menonton film. Kebanyakan dari penonton akan puas jika hasil akhir filmnya sesuai dengan ekspektasinya, dan sebaliknya akan kecewa jika film tersebut tidak sesuai akan ekspektasinya. Meskipun tidak terjadi pada setiap penonton namun tidak sedikit pula dari mereka yang berekspetasi pada calon film yang akan ditonton.


Baron sangat kesal ketika harus mengikuti orang tuanya pindah dari Jakarta ke Balikpapan.  Ia pun memilih untuk menutup diri dari lingkungan barunya dan sibuk sendiri bermain mobil RC.  Namun, karena satu dan lain hal, Baron harus mewakili sekolahnya ikut perkemahan Pramuka dan satu regu dengan Rusdi, pramuka supel yang kelewat optimistis dan kerap kali membuat Baron jengkel.  Bersama dengan anggota lain, Anton si ahli api, dan Aldi, si kerdil yang tempramental, mereka memulai petualangan barunya di Perkemahan.  Mereka juga bertemu dengan Sindai, gadis perkasa, yang banyak membantu Baron dkk ketika harus menjelajahi hutan lebat dalam salah satu games perkemahan.  Situasi semakin menegangkan ketika Rusdi dan Anton diculik oleh komplotan penebang hutan liar pimpinan Arip Jagau di tengah hutan.  Baron, Aldi, dan Sindai, yang tadinya mau kabur dari perkemahan, harus kembali untuk menolong kedua sahabatnya http://www.21cineplex.com/lima-elang-lima,movie,2576.htm.




Maka ciptakanlah ‘mindset’ yang sesuai dengan jenis film yang ditonton. Terlebih ketika akan mengukur seberapa berhasil filmnya memenuhi ekspektasi. Contohnya, dalam menonton film anak-anak ‘Liburan Seru’, film remaja ‘Ada Apa Dengan Cinta?’ dan film dewasa ‘Pintu Terlarang’ dimana ketiga film tersebut memilikiinti komponen yang berbeda. Singkatnya, ketika penonton dewasa memutuskan untuk menonton film anak-anak maka segala macam ‘mindset’ yang di gunakan dalam menonton film dewasa sekiranya diubah demi memahami perbedaan yang sesungguhnya antara film anak-anak, remaja, dan film dewasa.





Rudi Soedjarwo lumayan berhasil buat ngidupin ‘Pramuka’ yang menjadi nafas film ini. Ketika menontonnya kita bener-bener dibawa kedalam nafas filmnya yang tampil dengan begitu nyata. Tata musik yang dipercayakan ke ‘Aghi Narrotama’ terasa begitu ‘asyik’ dalam mengiringi filmnya. Membangkitkan semangat. Namun ‘Lima Elang’ bukan tanpa cela. Beberapa adegan terasa begitu dipaksakan. Lebay malah menurut gue. Terkecuali anak-anak yang maybe malah seneng sama bagian tersebut. Beberapa dialog yang dilontarkan tokoh utama ‘Rusdi’ menurut gue lebay tapi sekali lagi, film ini film anak-anak. Mesti ada pemakluman yang lebih besar dari menonton kategori film remaja dan dewasayang kadang-kadang juga mengandung sisi ‘lebay’ di filmnya.





Di sisi akting gue suka chemistry antara Baron (Christoffer Nelwan) sama Rusdi (Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan) pengenalan karakter berhasil mereka berdua tampilkan dengan begitu rapi. Didukung 3 ‘elang’ yang lain filmnya menurut gue berhasil menunjukkan seberapa pentingnya ditumbuhkan ‘jiwa persahabatan’ antar sesama teman apalagi film ini ditonton anak-anak meskipun sebenernya pesan filmnya sendiri universal.



Dari apa yang udah gue tulis, beberapa film anak-anakpun tidak luput dari eksekusi yang kurang tepat. Misalnya film anak-anak yang terlalu kekanak-kanakan, film anak-anak yang terlalu keremaja-remajaan, bahkan diatasnya. Makanya penting bagi gue bahkan meuurut gue juga penting buat calon penonton lain untuk memahami betul jenis film yang akan ditonton. Apalagi untuk film bertema anak-anak yang akan memudahkan penonton dalam melihat seberapa ‘setia’-nya film tersebut pada genrenya sendiri. Dalam kasus ini, gue bilang ‘Lima Elang’ masih bermain di arena-nya dan sangat pantas disebut film anak-anak.



‘Lima Elang’ menjadi sebuah film yang begitu bermanfaat untuk anak-anak (dan sebenernya kita juga). Produksi film sejenis inilah yang semestinya diperbanyak. Semoga penonton film Indonesia terus tergerak hatinya untuk menoleh ke film yang lebih ‘serius’ dibanding hanya menonton film remaja yang sarat akan adegan ‘dewasa’, atau bahkan film dedemit, dan komplotannya. Bagaimanapun juga, nasib perfilman Indonesia tergantung terhadap penontonnya :)



Selasa, 06 September 2011

Get Married 3

Cast : Nirina Zubir, Fedi Nuril, Ringgo Agus Rahman, Aming, Desta, Merriam Bellina, Djaja Miharja, Ira Wibowo, Kimberly Rider, Ratna Riantiarno.
Directed : Monty Tiwa
Realese Date : August 25, 2011

RATE (1-5) : 2 Bintang 


Bukan rahasia lagi, sukses menjadi sesuatu yang paling diupayakan setiap orang dalam segala sesuatu, hal yang sama terjadi pada sineas dalam membuat sebuah film. Disebut tujuan dalam membuat dan akhirnya merilis film. Pertama, sukses meraup penonton, balik modal bahkan meraih keuntungan dari jumlah tiket yang terjual. Kedua, sukses atau setidaknya mendekati ekspektasi penontonnya ataupun calon penontonnya. Tapi apa jadinya ketika sebuah film yang dikategorikan sukses di film terdahulu kemudian diproduksi lagi dan tampil dengan penuh ketanggungan?


Sejak menikah dan masih belum memiliki anak di film kedua, akhirnya Mae (Nirina Zubir) dan Rendy (Fedi Nuril) mendapatkan keinginan mereka untuk memiliki anak. Tidak hanya satu, mereka akhirnya dikaruniai bayi kembar tiga. Sebagai orang tua yang bertanggung jawab, keduanya memutuskan untuk mengurus anak mereka tanpa bantuan siapapun.
Tidak butuh waktu lama untuk menyadarkan pasangan muda ini bahwa membesarkan anak tidak semudah yang dibayangkan. Jika satu saja sulit apalagi tiga ya? Permasalahan semakin rumit saat Mae mengalami baby blues yang membuat ibu tiga anak itu memiliki perasaan cemas yang berlebihan, sedih, murung, dan sering menangis.
Sadar dengan kondisi istrinya, Rendy akhirnya segera meminta Guntoro (Deddy Mahendra Desta), Beni (Ringgo Agus Rahman) dan Eman (Amink) untuk diam-diam membantu Mae. 
Walau berhasil, ide ini ternyata malah membuat peran Rendy sebagai Ayah tersingkirkan. Apalagi Babe (Jaja Miharja), Bu Mardi (Meriam Bellina), Mama Rendy (Ira Wibowo) dan Sophie (Kimberly Ryder) menuntut ikut serta mengurus anak-anak Mae dan Rendy.





Jujur, gue salah satu penonton yang sangat menikmati setiap seri dari,‘Get Married’ dan menurut gue ‘Get Married 3’ adalah seri ‘Get Married’ terlemah yang pernah ada. Apa yang bisa bikin seri ‘Get Married’ kali ini kehilangan gregetnya? Padahal film pertamanya begitu rapi dan film keduanya bahkan lebih baik. Seenggaknya gue ngantongin beberapa cantetan yang menurut gue menjadi ‘inti’ dari kegaring-garingan yang bisa gue temui di beberapa scene. Skenario yang ditulis sama Cassandra Massardi terkesan dipaksakan dan udah terlalu kelewat batas pikiran normal, emang ga semua dari skenario tersebut gue sebut ‘ngawur’ tapi dengan hasil seperti ini bisa terlihat jelas perbedaan antara seri satu, dua, dan kali ini tiga.




Yang gue salutnya, karakter-karakter yang udah ada sebelumnya tetep dipertahankan dengan baik dan itu penting. Gue masih bisa ngerasain karakter tersebut ga berubah dan pas sesuai porsi setiap tokoh. Cuma yang bikin gue bingung, kenapa disetiap seri ‘Get Married’ tokoh Rendy selalu mengalami perubahan aktor? Richard Kevin, dalam seri pertama memiliki karakter kuat yang kemudian dilanjutkan sangat baik oleh Nino Fernandez di seri kedua. Waktu itu gue puas banget sama ‘Get Married 2’. Nino berhasil memerankan tokoh sentral Rendy dengan segala poin yang ada di ekspektasi penonton tentang seperti apa tokoh Rendy. Sampai akhirnya lebaran taun ini, ‘Get Married’ kembali dirilis dengan embel-embel seri ketiga dengan Fedi Nuril sebagai Rendy. Gue ga bilang akting Fedi meranin Rendy buruk, tapi justru poin ini yang membuat ‘Get Married’ setingkat dibawah seri sebelumnya. Dari warna kulit, postur, mimik, hampir menyeluruh ga pas. Mungkin  menurut penonton lain, bukan masalah besar cuma menurut gue poin itu yang membuat gue cukup kecewa dengan seri kali ini ditambah dengan ketanggungan dalam beberapa hal.




Tapi, apapun itu gue tetep bisa tertawa dalam menonton film ini, bukan film komedi yang buruk, tetep pantas untuk ditonton cuma ga sebagus dua film terdahulunya. Sayang. Apa karena adanya perubahan kursi sutradara yang sebelumnya cukup bertindak sebagai produser? Entahlah. Wajar rasanya, dalam menulis review ataupun hanya sekedar menonton film berseri,gue ataupun penonton lain membanding-bandingkan film yang satu dengan film sebelumnya. So, kalaupun akan dibuat ‘Get Married’ selanjutnya gue udah ga kebayang gimana hasilnya. Gue cuma takut nantinya ‘Get Married’ tampil lebih dipaksakan dari seri kali ini. Meskipun sebenernya gue tetep nunggu dan berharap akan ada ‘pertanggung jawaban’ atas seri kali ini yang bisa gue bilang cukup mengecewakan :)