Minggu, 30 Oktober 2011

Review : The Perfect House (2011)

VL Production
Starring : Bella Esperance, Cathy Sharon, Endy Arfian, Wanda Nizar, Mike Lucock.
Release Date : Oct 27, 2011
Director : Affandi Abdul Rahman

Rate Description :
0 : Rubbish1 : Dissapointing2 : Ordinary3 : Good4 : Very Good 5 : Recomended!

RATE : 3

Tidak dapat dipungkiri sekilas film ini mengingatkan banyak orang terhadap film slasher besutan The Mo Brothers ‘Rumah Dara’ yang begitu mempesona dikala itu. Judulnya yang jika di bahasa indonesiakan sama-sama menggunakan objek rumah. Ditambah lagi hadirnya Mike Lucock yang dalam film ini lebih mengumbar akting lewat ekspresi. Menambah jumlah orang yang mengaitkan filmnya dengan 'Rumah Dara'.



Film dibuka dengan adegan pria yang membopong seorang wanita yang hendak ia kuburkan. Setelah itu filmnya bergerak ke Julie (Cathy Sharon) seorang guru privat yang menunggu ‘pasien’ anaknya menyelesaikan ujian sekolah. Dimenit-dimenit awal filmnya berjalan begitu rapi namun kurang greget. Sampai akhirnya Julie yang sedang merancang liburan panjang diminta oleh atasannya untuk menangani satu ‘pasien’ baru lagi di sebuah rumah didaerah puncak. Julie tidak dapat menolak karena Madam Rita (Bella Esperance), sosok oma sang calon pemakai jasa memohon langsung dihadapannya. Alhasil, liburan yang telah direncanakn batal dengan satu pekerjaan terakhir yang harus diselesaikan Julie. Disebuah rumah yang terlihat begitu sempurna Julie yang sejak awal kedatangannya merasakan keganjilan mulai mencoba menguak satu demi satu misteri yang terdapat didalamnya.



Seperti yang saya katakan diawal, adalah sebuah kewajaran film ini sarat dikaitkan dengan ‘Rumah Dara’ slasher yang sukses meninggalkan begitu banyak pujian terhadap penontonnya. Namun karya keempat Affandi Abdul Rahman ini punya inticerita sendiri. Yang saya lihat, samasekali tidak ada usaha mendompleng film ‘Rumah Dara’. Vera Lasut penulis skenario sekaligus produser film ini harus percaya diri akan hadirnya film yang ia klaim bertemakan thiller bukan slasher. Meskipun scene diawal film mengingatkan kita pada film ‘Insidious’ karya James Wan, namun Affandi sukses membangun ketegangan demi ketegangan dengan begitu baik tanpa perlu terburu-buru. Semuanya berjalan rapi. Suasana mencekam yang berusaha dibangun tampil meyakinkan dengan furniture/perabot rumah dan balutan musik Aghi Narottama yang juara.



Bella Esperance yang melakonkan tokoh Madam Rita berhasil menunjukkan kemampuan akting yang memang seharusnya ditunjukkan aktris senior ini. Cathy Sharon juga bermain aman dan tidak mengecawakan. Mike sendiri tidak kehilangan poin dalam memerankan karakter Yadi. Dan yang paling mengangumkan adalah tokoh Januar yang diperankan pemeran anak-anak pendatang baru, Endy Arfian. Terlihat begitu berhasil dan tidak dibuat-buat.



Tanpa ceceran darah yang berlebihan, aksi pembunuhan yang terlalu terekspos, jelas terlihat kekuatan utama The Perfect House adalah kekuatan cerita yang cukup berhasil dijaga dengan baik. Satu-satunya pertanyaan yang wajib dilayangkan selepas menonton karya Affandi yang mengejutkan diakhir film ini. Untuk apa Madam Rita dan Yadi membunuh begitu banyak orang yang terlihat dalam buku rahasia sang Madam? Mungkin saya yang bingung atau apa, yang jelas film ini mendapat sambutan yang luar biasa ketika diputar di Puchon International Fantastic Film Festival, di Korea.

Mestakung (Semesta Mendukung)

Mizan Production
Cast : Revalina S. Temat, Lukman Sardhi, Ferry Salim, Sayef Muhammad Billah, Feby Febiola, Helmalia Putri, Indro Warkop, Sujiwo Tedjo, Dinda Hauw, Angga Putra.
Release Date : Oct 20, 2011
Director : John De Rantau

Rate Description :
0 : Rubbish - 1 : Dissapointing - 2 : Ordinary - 3 : Good - 4 : Very Good 5 : Recomended!


RATE : 1

Rasanya, jauh sebelum dirilis ekspektasi yang besar sudah dialamatkan pada film ini. Diantaranya jajaran pemain didalamnya yang cukup menjanjikan. Ada Revalina S. Temat disana yang pernah menjadi nominator aktris terbaik pada Festival Film Indonesia 2009 dan kerap bermain dalam film sarat kualitas semisal (?) Tanda Tanya. Tidak terlupakan Lukman Sardhi, aktor serba bisa yang selalu sukses memerankan peran dalm film apa saja dan juga dibanjiri prestasi yang tidak dapat disebut minim. Ditambah Sujiwo Tedjo yang kemarin, jujur menggugah saya dalam film Tendangan Dari Langit. Memiliki naskah yang tidak sembarangan, yang mengisahkan tentang kegemilangan putra-putri Indonesia di kancah dunia internasional lewat olimpiade sains kemudian diproduksi oleh Mizan Production yang terkenal dengan film-film bermutunya. Lantas apalagi alasan untuk tidak memberikan ekspektasi yang teramat besar terhadap film terbaru karya John De Rantau ini?



Muhammad Arief (Sayef Muhammad Billah), anak dari sebuah keluarga miskin dari Sumenep, Madura, sangat menggemari sains, khususnya fisika. Meski tinggal jauh dari kota besar dan bersekolah dengan fasilitas yang serbaminim, Arief tetap menekuni  fisika. Arief tinggal bersama ayahnya, Muslat (Lukman Sardi), mantan petani garam yang beralih profesi menjadi sopir truk serabutan karena ladang garam sedang dilanda paceklik. Lantaran kondisi ekonomi  keluarga yang serba kekurangan itu, ibu Arief, Salmah (Helmalia Putri), terpaksa bekerja sebagai TKW di Singapura.  Setelah bertahun-tahun  belum juga kembali, dan tidak pernah memberi kabar,  Arief sangat merindukannya. Arief bekerja di bengkel sepulang sekolah dengan cita-cita mengumpulkan uang untuk mencari ibunya. Arief akan dibantu oleh Cak Alul (Sudjiwo Tedjo). Ibu Tari Hayat (Revalina S. Temat), seorang guru fisika,  melihat bakat besar yang dimiliki Arief. Berkat dorongan Ibu Tari, Arief ikut seleksi olimpiade sains yang akan diadakan di Singapura. Namun, sesungguhnya Arief memiliki agenda tersembunyi yaitu menemukan ibunya di sana.




Mestakung, jujur tampil tidak konsisten. Diawal film kita cukup dibuat terkesan dan seolah ingin terus menikmatinya. Semakin lama dinikmati, semakin membosankan pula film ini bergulir. Filmnya seperti berusaha keras menyampaikan pesan yang terlihat klise dan kurang berhasil. Filmnya menjadi biasa biasa saja dan tidak seistimewa yang dipikirkan. Alur cerita yang terlalu lamban mungkin menjadi salah satu faktornya. Jelas pencapaian ini tidak akan berakhir memuaskan bagi penonton.



Karakter yang dibebankan kepada dua nominator FFI, Revalina dan Lukman seolah terasa terlalu ringan. Mereka tidak tampil buruk, namun tidak seistimewa biasanya. Aktor aktris lain tampil monoton dan tidak memuaskan. Apalagi tokoh utama Arief yang dimainkan Sayef Muhammad Billah, yang telihat kurang natural sebagaimana mesti yang ia harus perankan. Semesta Mendukung tidak berhasil dalam membuat ikatan emosional antara karakter yang satu dengan karakter yang lain.




Entah mengapa, John De Rantau yang membuat Denias tampil begitu gemilang, gagal membangun semua komponen. Ia terkesan berusaha keras menghadirkan simpati para penontontonnya.  Semesta Mendukung hanya menyelesaikan dialog demi dialognya namun tidak dapat menempatkan filmnya sesuai dengan ekspektasi banyak orang dan  menjadi salah satu film terbaik setidaknya di tahun 2011.

PPL

Starring : Tora Sudiro, Dallas Pratama

Selasa, 04 Oktober 2011

Simfoni Luar Biasa

Cast : Christian Bautista, Ira Wibowo, Ira Maya Sopha, Maribeth, Valey Valler
Director : Awi Suryadi
Release Date : September 29, 2011

RATE (1-5) : 1,5 Bintang
Dalam berencana menonton sebuah film ada komponen-komponen yang diciptakan penonton. Diantaranya si calon penonton penasaran akan filmnya berdasarkan trailernya, suka akan castnya (bintang filmnya), gemar akan genre yang diusung, tertarik akan poster dan promosi filmnya, dan masih banyak lagi komponen-komponen yang membuat penonton menonton film tersebut. Dalam hal ini, jelas Simfoni Luar Biasa memiliki salah satu dari komponen penting untuk mempromosikan filmnya, yakni Christian Bautista. Didapuk menjadi pemeran utama dalam tokoh Jayden, seorang musisi yang rentan putus asa akan nasibnya. 

Suatu malam setelah terjadi perkelahian di sebuah Karaoke di Manila City, Filipina, Jayden menemukan barang-barangnya berserakan didepan kontrakan karena tunggakan sewa kontrakan yang belum dia bayar. Dengan berat hati, ia meninggalkan Manila untuk sementara dan berangkat ke Jakarta. Setelah bertemu dengan Ibunya yang telah lama berpisah, Marlina (Ira Wibowo), akhirnya Jayden mengetahui kalau ia sudah menyiapkan rencana besar untuk dirinya. Seseorang yang bermimpi untuk menjadi rockstar harus menghadapi tantangan yang belum pernah dia sangka sebelumnya. Di tempat ini selain murid-murid itu, Jayden juga bertemu dengan beberapa karakter unik seperti Bu Rinjani (Ira Maya Sopha) yang tegas dan demokratis, Pak Dimas (Verdi Solaiman) yang sinis dan beberapa karakter lainnya. Disinilah Jayden mendapat pelajaran hidup dari anak-anak berkebutuhan khusus. 

Pembukaan film sampai menit ke 25 filmnya begitu membosankan. Sepertinya tidak membawa kenikmatan untuk menghabiskannya. Terlihat klise dan kurang meyakinkan. Beranjak dari menit tersebut, Simfoni Luar Biasa mulai menunjukkan konsistensi yang diawal sebelumnya tampil seperti meraba-meraba arahnya.