Minggu, 18 Maret 2012

Review : Dr. Seuss' The Lorax (2012)

Cast : Danny DeVito, Zac Efron, Taylor Swift, Ed Helms, Rob Riggle, Bety White, Jenny Slate.
Director : Chris Renaud & Kyle Balda
Genre : Animation, Family, Fantasy.
Running Time : 86 minutes.
Rate Description  :
O : Rubbish / 1 : Dissapointing
2 : Ordinary / 3 : Good
4 : Very Good / 5 : Outstanding!
Dr. Seuss mungkin menjadi nama asing bagi penonton film Indonesia, namun di Amerika nama tersebut sangatlah popular sebagai pengarang berbagai kisah anak-anak. Beberapa karyanya yang telah difilmkan adalah How the Grinch Stole Christmas(2000), The Cat in the Hat(2003), dan yang terakhir Horton Hears a Who (2008). Kini ditahun 2012, tepat diulang tahunnya ke 108, karangan penulis yang sama sekali tidak pernah meraih gelar dokter ini kembali diliris dalam bentuk film dengan judul The Lorax.
Ted (Zac Efron) adalah seorang pemuda yang tinggal di Thneed-Ville, yaitu sebuah kota indah yang didesain untuk tempat tinggal para penduduknya. Audrey (Taylor Swift) seorang gadis tetangga yang menarik perhatian Ted. Mengetahui apa yang dicita-citakan Audrey, Ted berjuang untuk memenangkan hati Audrey dan mendapatkan bibit pohon asli untuk ditanam di Thneed-Ville yang hanya dihiasi pohon plastik/palsu. Dalam petualangannya, Ted bertemu dengan Once-ler (Ed Helms), makhluk bertangan hijau yang mengetahui The Lorax (Danny DeVito) makhluk kecil berbulu orange yang berjuang untuk menyelamatkan pohon dan tempat tinggalnya.
Jika kita memperhatikan premis yang disuguhkan oleh The Lorax, film ini cukup banyak menyinggung perihal penebangan hutan yang dilakukan sembarangan, sekaligus mengangkat isu yang terus hangat dibicarakan banyak orang di seluruh belahan dunia yaituglobal warming. Hal tersebut tentu akan sangat disadari penonton dewasa meskipun mungkin tidak pada anak-anak yang lebih fokus menikmati karakter-karakter lucu dari para tokoh dan warna-warni dunia The Loraxyang memanjakan mata.
Chis Renaud yang sebelumnya berhasil lewat Despicable Me dan beberapa film animasi lainnya, terbukti kembali mampu menyajikan The Lorax dengan detail dan mendekati sempurna. Sungguh anda akan tertawa renyah melihat tingkah macam-macam karakter yang terlihat begitu nyata. Justru hal detail tersebutlah yang membuat saya mencintai dan merekomendasikan animasi duet penulis naskah ken Daurio dan Cinco Paul ini untuk anda tonton bersama rekan dan mungkin keluarga anda. Jika Despicable Me saja mampu menuai sukses finansial dan kemudian dibuatkan sekuelnya, bukan tidak mungkin The Lorax akan mengikuti meraih kesuksesan yang sama, mengingat film ini memiliki paket lengkap, menghibur dan meberi kesan yang mendalam bagi siapapun yang menontonnya.

Sabtu, 17 Maret 2012

Review : The Woman In Black (2012)


Cast : Daniel Radcliffe, Ciaran Hinds, Janet McTeer, Roger Allam, Sophie Stuckey.
Director : James Watkins
Genre : Drama, Horror, Thriller.
Running Time : 95 minutes.
Rate Description  :
O : Rubbish / 1 : Dissapointing
2 : Ordinary / 3 : Good
4 : Very Good / 5 : Outstanding!
The Woman in Black adalah novel horror fiksi karya Susan Hill dirilis pada tahun 1983 yang bercerita tentang bayangan kematian anak-anak dan wanita misterius berjubah hitam dengan julukan sesuai judul novel. 23 tahun dipertunjukkan dipanggung, The Woman in Black menjadi drama nomor dua setelah The Mousetrap yang masa tampilnya paling lama di West End, London. Kesuksesan tersebut diikuti dengan pembuatan filmnya dan kini rilis di tahun 2012.
Seorang pengacara bernama Arhtur Kipps meninggalkan anaknya di London. Kipps pergi ke sebuah desa di utara, Crithin Giffore dengan tugas menyelesaikan urusan kliennya, almarhum Mrs. Drablow. Di desa tersebut, ia disambut kurang ramah. Kipps lalu mengalamai berbagai fenomena supranatural yang umum kita saksikan pada film-film horror. Kipps yang semakin penasaran dengan rumah yang menghantuinya, terus mencari tahu tentang apa yang terjadi sesungguhnya dan kemudian terkuak perihal kematian anak demi anak yang telah terjadi.
Memang bukan perkara mudah bagi Daniel Radcliffe untuk lepas dari tokoh saga Harry Potter yang telah membesarkan namanya. Apalagi tokoh tersebut ia mainkan sejak berusia 12 tahun. Penonton akan masih membayangkan Radcliffe, alumnus Hogwarts dengan tongkat sihirnya. Namun secara mengejutkan, ia sebagai pria pucat yang tersiksa, tampil luar biasa. Sedangkan dukungan performa yang solid datang dari Ciaran Hinds, pemeran Aberforth Dumbledore dalam Deathly Hallows Part 2 yang berkolaborasi bersama Radcliffe dengan baik.
Diarahkan penulis dan sutradara Eden Lake salah satu horror-thriller favorit saya, James Watkins, The Woman in Black menyuguhkan horror thriller dengan hantu wanita yang gigih seperti halnya hantu-hantu film horror ala jepang. Didukung dengan music scoring yang mumpuni pula, semakin membuat film kedua James Watkins ini sukses meneror setiap penontonnya. Meskipun dengan ending film yang agak cheesy tapi secara keseluruhan, James Wakins dan Jane Goldman (X-Men: First Class) telah berhasil memberikan sebuah film horror-thriller yang menegangkan sekaligus menyeramkan.

Review : John Carter 3D (2012)

Cast : Taylor Kitsch, Lynn Collins, Samantha Morton, Mark Strong, Ciaran Hinds, Dominic West, James Purefoy, Daryl Sabara, Polly Warker.
Director : Andrew Stanton
Genre : Action, Science Fiction, Adventure.
Running Time : 132 minutes.
Rate Description  :
O : Rubbish / 1 : Dissapointing
2 : Ordinary / 3 : Good
4 : Very Good / 5 : Outstanding!
Film aksi petualangan fantasi diluar angkasa adalah film dengan genre yang dulunya mudah diterima semua umur, khususnya para penyuka kisah-kisah fiksi ilmiah, namun kini semakin ditinggalkan karena resiko flop dipasaran dan kritisnya kalangan penonton. Padahal di tahun 1980-an film-film petualangan angkasa adalah salah satu genre yang menjadi bintang khususnya jenis film fiksi ilmiah dan digemari karena menggunakan berbagai alat futuristik yang canggih, dan penampilan makhluk luar bumi dan makhluk luar angkasa yang menjadi daya tariknya. Pada perputaran film yang semakin berinovasi, ada Avatar yang sukses dengan mengusung tema demikian meskipun hal tersebut juga ditunjang tekhnologi 3D yang menambah pundi-pundi penghasilannya.
Pada masa perang Amerika, seorang kapten bernama John Carter (Taylor Kitsch) melakukan perjalanan dimensi dan kemudian terdampar di planet Mars seorang diri. Ia kemudian mendapati dirinya memiliki kekuatan super  dikarenakan gravitasi Mars yang jauh lebih kecil dari apa yang ada dibumi. Carter bertemu dengan suku Tharks yang terkesima akan kemampuan yang dimiliki Carter. Melalui suku tersebut Carter mempelajari bahasa yang digunakan di planet Mars dan terjerumus kedalam balutan konflik antarbangsa di Mars, Tars Tarkas (Dafoe) dan Ratu Dejah Toris (Collins). Dengan kemampuan yang dimilikinya Carter memilih salah satu pihak yang mengemban visi dan misi yang luhur, guna membantu perjuangan demi tetap menjaga keeksistensi planet Mars.
John Carter bergulir selama 132 menit dengan cukup menarik. Karakter-karakter kecil yang diciptakan untuk memperkuat cerita sangat membantu. Dibeberapa tempat premis yang dihadirkan terkadang terasa begitu familiar dikarenakan sudah begitu banyak ditampilkan dalam bermacam-macam genre film. Beruntungnya  John Cartermemiliki Taylor Kitsch dan Lynn Collins yang mempunyai pesona tersendiri serta para tokoh penghuni planet mars yang dapat membuat penontonnya betah untuk terus menyaksikan John Carter tanpa perlu terlalu pusing-pusing memikirkan plotnya yang sudah cenderung basi dan efek 3D yang jujur, biasa-biasa saja.
Sama-sama diproduksi Walt Disney, John Carter sesungguhnya sulit mengulang sukses franchise Pirates of Caribbean. Banyak point yang harus film ini lengkapi untuk memperluas euforia penonton layaknya yang terjadi pada franchise Pirates of Caribbean. Apalagi mengingat John Carter disebut-sebut berniat menyaingi Avatar yang sebenarnya juga diakui James Cameron terinsipirasi dari A Princess of Mars.
Seharusnya, Walt Disney mau banyak belajar dari kegagalan Prince of Persia : Sands of Time yang memakan biaya $200 juta, biaya yang tidak sedikit namun ternyata ditanggapi dingin penonton dan berbagai kalangan lainnya.

Sabtu, 10 Maret 2012

Review : Sampai Ujung Dunia (2012)

Cast : Dwi Sasono, Renata Kusmanto, Gading Marten, Chintami Atmanegara, Roy Marten, Sudjiwo Tedjo, Tutie Kirana, Sita Nursanti.
Director : Monty Tiwa.
Release Date : March 15, 2012
Running Time : 97 minutes.
Rate Description  :
O : Rubbish / 1 : Dissapointing
2 : Ordinary / 3 : Good
4 : Very Good / 5 : Outstanding!
Seolah tidak mengenal kata bosan, cerita cinta segitiga tidak henti-hentinya diangkat kelayar lebar. Sebut saja Ayat-Ayat Cintadan Heart yang fenomenal, Hari Untuk Amanda yang sangat memukau dan tahun lalu ada Kehormatan Dibalik Kerudung. Adalah hal yang sah-sah saja untuk mengangkat formula demikian. Tugas yang diemban hanyalah tinggal membuat film dengan premis sama menjadi sedemikian menarik. Monty Tiwa yang sebelumnya sukses dengan Kalau Cinta Jangan Cengeng, tahun ini menyuguhkan drama romantis berjudul Sampai Ujung Dunia.
Gilang (Gading Marten), Daud (Dwi Sasono), dan Anisa (Renata Kusmanto) telah bersahabt sejak kecil. Anissa yang ditinggal ibunya sejak kecil, tinggal disebuah panti asuhan. Daud berasal dari keluarga miskin. Sebaliknya Gilang berasal dari keluarga serba berkecukupan. Kebersamaan yang terjalin terus menerus membuat Daud-Gilang sadar bahwa mereka mencintai Anissa melebihi seorang adik. Mereka berdua mengatakan cinta disaat yang bersamaan. Anissa bingung menjawabnya, karena mencintai kedua sahabatnya dan tidak ingin persahabatan antara Gilang dan Daud hancur. Anissa pun membuat perjanjian. Siapa yang bisa membawanya ke Belanda untuk mencari ibunya, maka ia yang akan terima sebagai kekasihnya. Atas saran yang diberikan Annisa, Gilang kemudian mencoba mandiri dengan mengikuti Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia, sedangkan Daud diterima di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran. Sampai pada suatu saat mereka tahu bahwa ternyata Annisa menutup rapat perihal penyaktinya dan terancam tidak dapat diselamatkan.
Don’t judge a movie from the cover. Pernyataan ini terasa sangat pas untuk kita ketika hendak menonton sebuah film. Seringkali seseorang tertarik untuk membeli tiket dan menonton sebuah film dikarenakan kekuatan posternya. Memang hal tersebut menjadi satu faktor diantara beberapa faktor lain. Setidaknya kasus demikian pernah saya temui dalam film Cewek Saweran yang memasang Juwita Bahar dengan pose seksi dan judul yang agak seronok namun filmnya jauh dari kesan pertama saat melihat posternya. Filmnya cukup rapi dan menghibur. Hal ini kemudian saya rasakan pada Sampai Ujung Dunia yang menurut saya kurang menjual dari segi poster. Terdapat dua pria berseragam yang mungkin alasannya ingin memberikan gambaran tentang profesi kedua tokoh tersebut. Memutuskan menonton atau tidak sesungguhnya kekuatan poster juga sangat berperan. Beruntungnya kepolosan poster Sampai Ujung Dunia tidak diikuti dengan hasil filmnya secara keseluruhan.
Sampai Ujung Dunia bertutur begitu manis tentunya ditunjang dengan aktor-aktris yang berperan baik, jelas sebuah prestasi bagi sang sutradara dalam mengarahkan para pemainnya. Monty Tiwa juga tidak melulu bertutur tentang penyakit tokoh utamanya, Anissa seperti yang belakangan ramai kita lihat pada film-film drama Indonesia yang mengeksplor penyakit dalam sebuah film. Monty Tiwa masih dapat fokus menguraikan kisah cinta segitiga dengan cukup lugas. Premis miskin dan kaya-pun tidak menjadi basi ditangannya.
Tidak perlu lagi berpanjang lebar, film ini adalah sebuah film drama romantis yang memanjakan mata dengan sinematografi yang indah lengkap dengan kisah cinta segitiga yang manis. Perpaduan antara naskah yang baik dan pengarahan yang tidak begitu ngotot, Sampai Ujung Dunia direkomendasikan untuk ditonton bagi anda pecinta film Indonesia.

Review : Keumala (2012)

Cast: Nadia Vega, Abimana Aryasatya, Cut Yanti, Ismaludin, Mahdi.
Director : Andhy Pulung.
Genre : Drama / Romance.
Running Time : 106 minutes.
Rate Description  :
O : Rubbish / 1 : Dissapointing
2 : Ordinary / 3 : Good
4 : Very Good / 5 : Outstanding!
Sebelum menyaksikan film, ada baiknya anda melihat credit titlenya terlebih dahulu. Hal ini berdampak banyak. Anda akan mudah memilih film mana yang anda akan atau tidak nonton. Setidaknya hal demikian mutlak saya lakukan. Film Keumalapertama kali saya ketahui melalui poster yang dipasang di bioskop. Andhy Pulung adalah sutradaranya. Siapa dia? Mungkin pertanyaan tersebut akan banyak muncul, mengingat film ini adalah debut dari Andhy Pulung. Andhy pulung adalah editor untuk beberapa film seperti King, Hari Untuk Amanda, Tanah Air Beta, Under The Three dan Saus Kacang.
Senja, momen alam paling indah telah menyatukan penulis novel dan pembuat sketsa, Keumala (Nadia Vega) dengan Fotografer, Langit (Abimana Aryasatya) kemudian mengurai kisah masing-masing. Langit yang tengah melakukan pelarian dengan mengadakan pameran foto di sebuah kapal. Sedangkan Keumala seorang penulis dan pembuat sketsa yang tengah mengerjakan suatu proyek baru. Pertemuan yang dimulai melalui perdebatan membuat mereka mengusik kredibilitas mereka masing-masing, namun justru dari sini ‘rasa’ itu muncul. Setelah itu mereka berpisah. Setibanya di Sabang, Keumala lalu menderita retinitis pigmentosa, sebuah penyakit yang berujung kebutaan. Langit datang untuk menemui dan mengisi hari-hari Keumala ditengah kesendirian dan kebutaan yang dialaminya.
Nadia Vega mampu memerankan tokoh Keumala dengan sangat baik. Lewat gesturnya ia berhasil menggambarkan sosok Keumala dari kesehariannya, menderita penyakit retinitis pigmentosa dan mengalami kebutaan. Jelas penampilannya jauh lebih baik dari apa yang ia berikan dalam film Leak. Sementara Abimana dalam film ketiganya ditahun 2012 ini juga mendulang hasil yang sama. Tokoh Langit ditangannya menjadi cukup manis.
Film Keumala menyuguhkan banyak kepuitisan. Bersetting di Sabang dan mengambil banyak gambar diatas kapal laut dalam melakukan pejalanan Jakarta-Medan, sayangnya Alur yang ditawarkan film ini terlampau lambat. Rasanya terlalu panjang untuk menjelaskan inti filmnya. Sebenarnya jika mau, ada cerita kehidupan Inong yang masih bisa dimaksimalkan. Nasib akhir Inong tidak jelas bagaimana. Padahal dari awal, karakter Inong sudah cukup kuat dan punya alasan untuk dijelaskan.
Satu lagi yang menganggu. Entah dari pihak bioskop yang melakukan pemutaran atau dari proses editing yang dilakukan pembuat filmnya, dibeberapa scene awal, film  ini mengalami ‘kemacetan’ seolah-seolah sedang menonton dvd usang. Beruntungnya hal tersebut tidak berlangsung sampai ketengah bahkan keakhir film, sehingga penonton masih bisa fokus menyimak keumala tanpa harus mengeluhkan gangguan tersebut.
Bersamaan dengan dirilisnya Negeri 5 Menara, Keumala tampil tanpa banyak promosi. Film ini dikemas dengan konsep drama-dokumenter. Namun jika tanpa alur yang lambat, percayalah Keumala sesungguhnya adalah film dengan dua tokoh utama yang puitis dan mampu tampil sebagai drama yang manis.

Minggu, 04 Maret 2012

Review : Negeri 5 Menara (2012)

Cast: Gazza Zubizareta, Billy Sandy, Ernest Samudra, Rizki Ramdani, Jiofani Lubism Aris Putra, Ikang Fawzi, Lulu Tobing, David Chalik, Donny Alamsyah, Andhika Pratama, Ario Wahab, Eriska Rein.
Director : Affandi Abdul Rachman.
Genre : Drama / Adventure.
Running Time : 120 minutes.
Rate Description  :
O : Rubbish / 1 : Dissapointing
2 : Ordinary / 3 : Good
4 : Very Good / 5 : Outstanding!
Apa jadinya jika novel seanyar Negeri 5 Menara diangkat menajdi sebuah film? Akan menjadi sesuatu yang menarik tentunya. Novel Negeri 5 Menara yang rilis sejak juli 2009, adalah novel yang laris. Pembacanya pun tidak sedikit. Maka memberikan ekspektasi yang besar adalah kewajaran. Hal semacam ini setidaknya pernah terjadi dibeberapa film seperti Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih dan Laskar Pelangi.
Negeri 5 menara bercerita tentang Alif (Gazza Zubizareta) seorang anak yang melanjutkan sekolahnya di Pondok Madani, sebuag pesantren di sudut ponorogo oleh keinginan Ibunya (Lulu Tobing). Diantar oleh Ayahnya (David Chalik) Alif berhasil lulus dalam seleksi siswa baru Pondok Madani. Alif yang awalnya sering menyendiri kemudian menemukan teman-teman seperti Baso (Billy Sandy), Said (Ernest Samudra), Atang (Rizki Ramdani), Raja (Jiofani Lubis), dan Dulmajid (Aris Putra). Mererka berenam kemudian bersahabat dan mencoba meraih mimpi untuk menaklukan dunia dan mengunjungi menara impian mereka masing-masing.
Jika berbicara secara keseluruhan, Sejujurnya tidak ada sesuatu yang menarik dari film ini. Formula yang digunakan film ini pernah diangkat dibanyak film yang mengangkat anak-anak yang mencoba meretas kesuksesan lewat pendidikan. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam menggunakan formula tersebut. Produksi film dengan formula yang sama adalah hal yang sah-sah saja. Namun ada satu tugas berat yang  dibebankan kepada sutradara film yang menggarap film berdasarkan novel. Mampukah deretan crew memenuhi ekspektasi penonton? Sayangnya, Negeri 5 Menara termasuk film yang under expectation.
Beberapa adegan dijelaskan secara instan. Padahal durasinya tidaklah singkat. 120 menit. Entah kenapa, dengan durasi demikian, saya bolak-balik mengecek arloji untuk melihat sudah berapa lama kah filmnya bermain. Sinematografinya pun tidak memberi sesuatu yang spesial. Alur ceritanya terkesan lambat. Meski begitu, Negeri 5 Menara bukanlah film buruk. Film ini masih unggul di beberapa poin. Yovie Widianto yang menggarap  soundtrack dan musik oleh Aghi Narotama terbilang berhasil mengiringi film ini. Affandi Abdul Rachman yang selama ini dikenal filmHearbreak.com dan Aku atau Dia, dan kemarin memukau lewat slasher The Perfect House, mampu mendirect keenam tokoh utama dengan cukup baik. Meskipun belum menghasilkan sebuah penampilan yang luar biasa, mereka tampil cukup mengesankan.
Jika suatu film dibuat menggunakan satu formula yang sama dengan film-film yang menggunakan formula tersebut, maka sesungguhnya hanya ada dua pilihan yang harus dicapai sang pembuat. Melebihi, atau setidaknya menyamai apa yang  sudah ada. Negeri 5 Menara, belum mampu melebihi apa yang sudah ada. Tapi film ini tetap meninggalkan banyak pesan moral yang dapat diambil oleh penontonnya. Belajar dan berusaha adalah kunci kesuksesan. Man Jadda Wajada!