Selasa, 03 April 2012

Review : Love Is U (2012)

Cast : Cherrybelle, Panca Makmun, Kevin Leonardo, Fifie Buntara.
Director : Hanny R. Saputra
Genre : Drama.
Running Time : 80 minutes.
Rate Description  :
O : Rubbish / 1 : Dissapointing
2 : Ordinary / 3 : Good
4 : Very Good / 5 : Outstanding!
Sejak kemunculan boyband Smash yang fenomenal, blantika musik Indonesia kemudian diikuti dengan hadirnya girlband 7 Icons. Seolah latah dengan musim ini, berbagai grup dengan konsep boy-girlband pun semakin menjamur. Acara tv didominasi grup dengan berbagai macam tampilan. Namun dari banyaknya boy-girlband yang beredar, Cherrybelle bisa disebut adalah grup yang cukup banyak menarik perhatian dibanding grup-grup khususnya girlband yang lain. Selain lagunya yang catchy, aksi panggung yang gampang diingat, materi personil Cherrybelle juga sering menjadi tiruan bagi banyak orang. Hal tersebut cukup menjadi alasan  mengapa Cherrybelle sampai dibuatkan versi filmnya.
Love is U bercerita tentang 9 gadis yang terpilih untuk pembentukan sebuah girlband. Kesembilan gadis yang terdiri dari Cherly, Anisa, Wenda, Angel, Auryn, Christy, Devi, Felly, dan Cynthia. Mereka memiliki kebiasaan yang berbeda. Akhirnya mereka sering terlibat dalam konflik. Victor sang manajer tentu khawatir akan hal ini. Victor kemudian menyatukan gadis-gadis tersebut kedalam sebuah apartment. Disana mereka berlatih vocal, tari dan juga belajar tentang arti persahabatan. Disana pula mereka mengurai masalah mereka masing-masing dan mencoba menyelesaikannya dengan kebersamaan.
Tidak bisa dipungkiri, Cherrybelle memiliki magnet yang begitu kuat. Penggemarnya patut berpuas hati karena dapat menyaksikan idola mereka berakting dalam film. Namun sayangnya film yang disutradarai Hanny R. Saputra ini, tidak lebih dari sebuah penggambaran tentang aktivitas Cherrybelle hari demi hari. Berselisih paham, berbeda pendapadat dan akhirnya bernyanyi bersama. Dramatisasi yang dibangun terkadang terasa berlebihan karena konflik-konflik yang ditawarkan pun terselesaikan dengan begitu klise. Bahkan di menit-menit awal, lagu ‘beautiful’ teramat sering dimunculkan. Bagi fans chibi mungkin tidak menjadi masalah, tapi bagi saya justru terasa monoton.
Terlepas dari lakon para personil Cherrybelle yang nyaris sama, Love is Umempunyai pesan moral yaitu tentang pentingnya arti keluarga dan persahabatan. Beruntungnya meskipun dengan cara sederhana, pesan tersebut mampu tersampaikan khususnya kepada penonton anak-anak yang menjadi hiburan tersendiri bagi saya ketika menonton film ini.

Minggu, 01 April 2012

Review : Hi5teria (2012)

Cast : Tara Basro, Luna Maya, Imelda Therinne, Ichi Nuraini, Maya Otos, Poppy Sovia, Dion Wiyoko, Bella Esperance, Kris Hatta, Sigi Wimala.
Director : Adriyanto Dewo, Chairun Nissa, Billy Christian, Nicholas Yudifar, Harvan Agustriansyah.
Genre : Horror, Thriller.
Running Time : 97 minutes.
Rate Description  :
O : Rubbish / 1 : Dissapointing
2 : Ordinary / 3 : Good
4 : Very Good / 5 : Outstanding!
Fenomena omnibus tentunya bukan hal baru dalam sejarah perfilman Indonesia. Kita telah banyak melihat film dengan formula demikian, sebut saja Perempuan Punya CeritaJakarta Maghrib, dan Takut (Faces of Fear), sedangkan ditahun 2012 ini kita telah disuguhkan dengan 2 film omnibus. Dilema, film omnibus yang diproduseri Wulan Guritno dan dirilis dibulan februari yang mengumpulkan 5 cerita tentang kota Jakarta. Dan yang dirilis pada bulan Maret ini, Mata Tertutup film berbujet murah dengan sutradara Garin Nugroho, sukses melebur 3 cerita yang sangat kontroversial.
Sejujurnya pemilihan judul Histeria saya rasakan kurang tepat. Meskipun cukup berhasil menciptakan ketengangan di beberapa scene masing-masing segmen, secara keseluruhan film ini gagal menyampaikan apa maksud yang terkandung pada judulnya.
#1 Pasar Setan (Adriyanto Dewo)
Score : 1/5
Sari (Tara Basro) seorang pendaki gunung terpisah dengan pacarnya. Sari kemudian terus menjelajah hutan demi menemukan pacarbnya. Didalam pencariannya ia bertemu dengan Zul (Dion Wiyoko). Zul yang mengetahui keberadaan Sari, membantu Sari mencari pacarnya. Namun usaha mereka dihidapkan ketengangan dengan hutan gelap dimana suara-suara keramaian pasar misterius terdengar.
Pasar Setan adalah segmen terburuk dari Histeria. Meskipun saya mengerti maksud ‘pasar’ yang diangkat dalam segmen ini, namun sayangnya eksekusinya terlampau gagal. Pasar Setan terlalu flat dari beberapa aspek untuk disebut sebagai salah satu dari segmen omnibus horror. Disayangkan sekali karena sebenarnya segmen dengan judul yang menarik ini cukup mengundang penasaran banyak orang.
#2 Wayang Koelit (Chairun Nissa)
Score : 2.5/5
Seorang wartawan asing bernama Nicole (Maya Otos) sedang melakukan perjalanan didaerah Jawa Tengan untuk sebuah penulisan. Ia kemudian bertemu dengan seseorang yang misterius. Semenjak saat itu perjalanannya membuat ia terseret didalam dunia mistis wayang kulit. Dunia mistis yang mengancam jiwanya.
Sejujurnya saya senang bahwa budaya Jawa kembali diangkat kedalam sebuah film. Hal ini membuat saya penasaran akan eksekusi film horror yang disandingkan dengan pertunjukan Wayang Kulit akan menjadi seperti apa. Meskipun tidak dapat saya katakan sempurna, tapi segmen menurut saya cukup rapi dari apa yang ada dalam Histeria. Ditambah dengan kontribusi Tya Subiakto sebagai penata musik, berhasil menambah ketegangan demi ketegangan. Maya Otos yang didaulat menjadi tokoh utama dalam segmen ini terbilang berhasil menampilkan karakter wartawan asing yang mengalami teror.
#3 Kotak Musik (Billy Christian)
Score : 1.5/5
Farah (Luna Maya) adalah seorang ilmuwan yang tidak mempercayai hal-hal supranatural. Ia memiliki penjelasan ilmiah tentang fenomena-fenomena aneh yang dialami banyak orang. Tapi pada suatu kejadian, Farah mulai dihantui hantuk anak kecil yang mengajaknya bermain. Semua itu karena kotak musik misterius yang diambil Farah pada sebuah rumah tua. Situasi tersebut memaksa Farah percaya ajan adanya hal0hal berbau mistis yang sering ia tidak percayai.
Luna Maya tampil sebagai kekuatan dalam segmen ini. Sayangnya saya menangkap beberapa scene yang terlalu familiar (pernah saya tonton dalam film luar). Beberapa karakter dalam segmen film ini pun terasa kurang memberi kontribusi yang berarti. Artinya ada atau tidaknya karaktert tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah. Kotak Musikbertutur agak berbelit sehingga keoptimisan yang tercipta diawal segmen pupus begitu saja.
#4 Palasik (Nicholas Yudifar)
Score : 2/5
Sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak sedang melakukan liburan di sebuah villa. Situasi villa yang menyimpan banyak cerita mulai menghantui ibu keluarga tersebut yang sedang hamil. Hal tersebut membuat sang ibu penasaran dan mencari tahu tentang cerita mistis apa yang membuat ia dihantui oleh sosok hantu berkepala buntung.
Sama seperti Wayang KoelitPalasik adalah salah satu segmen yang membuat saya pribadi penasaran. Selain telah menjadi urban legend,Palasik cerita rakyat dari Padang pernah saya dengar dalam beberapa versi. Palasik sebenarnya bisa jadi segmen yang paling baik dalam Histeria. Imelda Therinne memberi kualitas akting yang memukau seperti apa yang ia tunjukkan dalam film slasher, Rumah Dara. Lokasi syuting yang juga pernah digunakan The Mo Brothers untuk menggarap Rumah Dara tetap mampu memberi kesan “menyeramkan” bagi siapapun yang membayangkan berada ditengah-tengah rumah tersebut. Maka efek animasi yang digunakan untuk menciptakan hantu kepala buntung adalah poin minus dari segmen ini dimana efek tersebut mengingatkan saya pada film horror televisi yang pernah saya saksikan di salah satu stasiun TV swasta.
#5 Loket (Harvan Agustriansyah)
Score : 3/5
Pada suatu malam kejadian misterius menimpa seorang gadis yang bekerja sebagai penjaga loket di parkiran basement sebuah mall. Ditempat tersebut ia dihantui sosok hantu perempuan yang menuntun balas. Sambil berusaha menyelamatkan diri, sang penjaga loket kemudian melihat kejadian apa yang sesungguhnya terjadi di parkiran basement mall tersebut.
Selain Ichi Nuraini yang tampil apik, Loket punya Bella Esperance yang begitu menyeramkan minus dialog. Setelah menyaksikan semua segmen maka pilihan terbaik jatuh pada segmen terakhir ini. Tidak berlebihan namun cukup konsisten menciptakan ketegangan dari awal sampai akhir,Histeria beruntung mempunyai segmen ini. Segmen yang tidak terlalu muluk-muluk namun akhirnya berhasil menutup Histeria yang mengecewakan dibeberapa segmen.

Review : My Week With Marilyn (2011)

Cast : Michelle Williams, Kenneth Branagh, Eddie Redmayne, Emma Watson, Judi Dench.
Director : Simon Curtis
Genre : Biography, Drama.
Running Time : 99 minutes.
Rate Description  :
O : Rubbish / 1 : Dissapointing
2 : Ordinary / 3 : Good
4 : Very Good / 5 : Outstanding!
Dengan melihat judulnya saja sebagian besar orang akan tahu bahwa film ini adalah film dengan cerita tokoh legenda, Marilyn Monroe. Siapa yang tidak kenal dia? Meskipun saya bukan pengagum atau seseorang yang mengikuti perjalanan beliau, sedikitnya saya tahu bahwa dia adalah tokoh besar yang dikenal sebagai artis, penyanyi dan Model. Kiprahnya didunia internasional begitu melekat di ingatan publik. Sayangnya film ini bukanlah sebuah film yang menceritakan kehidupan Marilyn Monroe secara garis besar, melainkan hanya sebuah cerita ketika ia membintangi The Prince and the Showgirl. Lebih tepatnya My Week With Marilyn mengurai beberapa kisah hidup yang dialami Monroe saat berada dalam proses pembuatan film tersebut.
Pada musim panas 1956, Marilyn Monroe (Michelle Williams) menandatangani kontrak sebuah film yang memasangkannya dengan aktor sekaligus sutradara asal Inggris, Sir Laurence Olivier (Kenneth Branagh). Dalam proses pembuatan film The Prince and the Showgirl, Monroe dihadapkan pada kenyataan pahit. Ia menemukan tulisan suaminya yang membuatnya rapuh. Beruntungnya ada Paula, manager yang selalu menyemangatinya dan Collins Clark (Eddie Redmayne), asisten sutradara yang menemaninya. Selama seminggu, Monroe dan Collin mengalami banyak cerita. Cerita yang menjadi dasar film My Week With Marilyn.
Michelle Williams yang didaulat memerankan Marilyn Monroe boleh saja tidak memiliki fisik yang cukup dari sekedar rambut pirang dan lipstik dengan bibir merekah, tapi performa akting yang begitu hebat membuat Williams tampil lebih dari cukup. Penjiwaannya begitu sempurna terlihat dari gesture dan segala macam mimiknya menjelaskan kegundahan, kesepian dan peran Monroe sebagai tokoh yang dipuja-puja banyak orang. Berperan sebagai Sir Laurence Olivier, Kenneth Branagh adalah nama lain yang juga memberikan penampilan yang apik. Tidak salah mereka berdua menjadi nominator peraih piala oscar tahun ini untuk aktris dan aktor pendukung terbaik.
My Week With Marilyn adalah biopik yang memberikan banyak gambaran tentang siapa sebenarnya sosok Marilyn Monroe berdasarkan catatan Collin Clark, pemuda 23 tahun yang telah jatuh cinta dibuatnya. Bertutur dengan lugas, Simon Curtis sesungguhnya telah berhasil mengaplikasikan cerita yang ditulis Adrian Hodges menjadi sebuah film yang sayang untuk dilewatkan.

Review : The Raid (2012)

Cast : Iko Uwais, Ray Sahetapy, Yayan Ruhian, Joe Taslim, Donny Alamsyah, Pierre Gruno, Tegar Satrya.
Director : Gareth Evans
Genre : Action, Crime, Thriller.
Running Time : 101 minutes.
Rate Description  :
O : Rubbish / 1 : Dissapointing
2 : Ordinary / 3 : Good
4 : Very Good / 5 : Outstanding!
Film Indonesia meraih penghargaan festival film luar, mungkin hal yang sering kita dengar. Tapi film Indonesia yang berhasil di berbagai festival, dirilis sampai ke negeri paman sam dan beberapa negara lainnya mungkin baru The Raid yang mencapainya. Diproduksi sejak tahun lalu, rasanya sudah tidak sabar menyaksikan film yang banyak mengundang penasaran bagi banyak pihak. Bukan hanya karena kegemilangan yang diraihnya tapi juga mengingat suksesnyaMerantau, film Indonesia pertama dari Gareth Evans yang sempat memukau di tahun 2009.
Di daerah kumuh Jakarta berdiri sebuah gedung tua yang menjadi markas persembunyian para pembunuh kelas dunia yang paling berbahaya. Sebuah tim polisi elit penyerbu berjumlah 20 orang ditugaskan menyergap gembong narkotik terkenal yang menguasai tempat berlantai 30 tesebut. Sialnya ditengah melakukan penyerbuan, aksi mereka diketahui sang gembong narkotik kemudian semua pintu di blokir. Aksi kekerasan, tembak dan saling hantam-pun bertebaran dimana-mana. Beberapa dari mereka mulai berjatuhan dan sisanya berusaha menyelamatkan diri dan membunuh satu persatu penghuni tempat tersebut. Di tempat itu pula, Rama (Iko Uwais) anggota tim polisi dan Andi (Donny Alamsyah) otak bisnis narkoba Tama, bertemu. Andi dan Rama yang berasal dari oknum yang berbeda kemudian saling menolong. Andi mencoba menyelamatkan Rama dari Mad Dog (Yayan Ruhian) tangan kanan Tama yang berkeahlian silat tinggi dan Rama menyelamatkan Andi dari hukuman dan siksaan Mad Dog saat ketahuan menolong dirinya.
Dibuka dengan adegan drama yang menjelaskan tentang kehidupan Rama, kemudian secara beruntun serbuan demi serbuan menghiasi film ini sampai menit terakhir. Gareth Evans bertindak sebagai sutradara, penulis, sekaligus editor sangat paham dalam mengatur ritme film terjaga. Ia juga cukup bijak membagi ruang bagi-bagi karakter-karakter yand ada. Dari segi cast tidak perlu ada kekhawatiran karena Gareth Evans punya Iko Uwais dan Yayan Ruhian yang juga koreografer film ini. Mereka menunjukkan aksi saling hantam yang bukan main hebatnya. Pencapaian yang juga ikut ditorehkan pemain lain seperti Donny Alamsyah sehingga mampu melakoni adegan fightingdengan baik. Sungguh anda akan merasakan ketegangan yang luarbiasa, dan mungkin akan sedikit kelelahan karenanya.
Dalam formulanya, Gareth Evans kembali mengangkat silat lengkap dengan realita kota Jakarta dan segala kebusukan yang ada didalamnya. Yang sangat jelas adalah ia memberikan tiga kali lipat aksi yang lebih brutal dari apa yang pernah ia berikan dalam film Merantau menjadikan The Raid layaknya dikomsumsi penonton usia 17 tahun keatas saja.
Euforia yang saya rasakan sejak kabar baik film ini terus bergulir mengantarkan saya ke sebuah ekspektasi besar yang akhirnya terbukti tidak berlebihan  mengingat The Raid sendiri telah disejajarkan dengan film-film dunia dan memiliki segudang prestasi diantaranya ‘The Cadillac People’s Choice Award’ dalam Toronto International Film Festival. No more saying, you should watch it! Totally Brutal.

Review : The Hunger Games (2012)

Cast : Jennifer Lawrence, Josh Hutcherson, Liam Hemsworth, Woody Harrelson, Elizabeth Banks, Lenny Kravitz, Stanley Tucci, Donald Sutherland.
Director : Gary Ross
Genre : Action, Drama, Sci-fi.
Running Time : 142 minutes.
Rate Description  :
O : Rubbish / 1 : Dissapointing
2 : Ordinary / 3 : Good
4 : Very Good / 5 : Outstanding!
The Hunger Games yang diangkat dari novel Suzanne Collins sesungguhnya ada novel bertemakan dewasa yang pertama kali diterbitkan pada September 2008. Sejak dirilis awal, novel tersebut kemudian diterjemahkan kedalam 26 bahasa dan hak produksinya terjual di 38 negara. The Hunger Games yang mendapat tanggapan positif dari berbagai orang kemudian diangkat menjadi film layar lebar yang diproduseri dan naskahnya ditulis Suzanne Collins, disutradarai oleh Gary Ross. Dalam penggarapannya, Gary Ross dan sang penulis novel memberikan beberapa sentuhan dan perubahan dari novel ke dalam filmnya sehingga kekerasan yang terdapat dalam novelnya tidak perlu anda takutkan.
Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) menjadi sukarelawan demi adiknya Primros Everdeen (Willow Shileds) yang secara acak mewakili district 12 dalam sebuah ajang tahunan semacam reality show yang dinamai The Hunger Games. Disana mereka akan mempertaruhkan hidup dan mati karena dari 12 distrct, masing-masing mempunyai 2 perwakilan terdiri dari laki-laki dan perempuan (disebut tribute), yang artinya 24 orang dimana hanya akan ada 1 orang yang tetap hidup dan dinyatakan sebagai pemenang. Katniss Everdeen dan Peeta Mellark (Josh Hutcherson) serta tribute lain berusaha bertahan hidup dari kerasnya persaingan yang memberikan dua pilihan, hidup atau mati.
Menyaksikan film ini seperti menjadi sebuah petualangan yang menyenangkan. Pengambilan gambarnya kebanyakan menggunakan tekhnik handheld. Entah karena alasan apa yang jelas tekhnik tersebut membuat nuansa ‘reality show’ dalam film ini sangat sukses dibangun. Penonton seakan ikut merasakan ketegangan dalam perjuangan para tribute dalam menyelamatkan dirinya.
Jennifer Lawrence yang memerankan Katniss mampu menunjukkan kapan karakter tersebut  ketakutan, kesedihan, dan bersemangat menghadapi medan hidup dan mati dengan sangat baik. Maka, pernah mendapat nominasi Oscar untuk kategori aktris terbaik bukanlah hal yang mengherankan. Begitupun Josh Huthcher dengan tokoh Peeta yang ia perankan dengan pas. Tidak ada masalah yang terjadi pada seluruh cast.
Kesuksesan penting yang saya rasakan bukan hanya karena keberhasilan Gary Ross dalam mendirect para pemainnya melainkan ia juga mampu menjaga keutuhan cerita meskipun dengan durasi yang sangat berpotensi membuat penonton kelelahan. Kabar baiknya, The Hunger Games punya sajian yang mengoptimalkan penonton agar terus menyaksikannya dari awal sampai filmnya berakhir. Selebihnya, The Hunger Games adalah film yang didalamnya terdapat banyak pesan moral dan kaya akan kualitas. Sebuah paket komplit untuk franchise terbaru yang siap untuk dinantikan kelanjutannya.

Review : Mata Tertutup (2012)

Cast : Jajang C. Noer, Eka Nusa Pertiwi, M. Dinu Ismansyah.
Director : Garin Nugroho
Genre : Drama.
Running Time : 102 minutes.
Rate Description  :
O : Rubbish / 1 : Dissapointing
2 : Ordinary / 3 : Good
4 : Very Good / 5 : Outstanding!
Garin Nugroho. Nama sutradara yang telah melahirkan film-film yang sering mengangkat kultur budaya di Indonesia seperti Opera Jawa pada tahun 2006 dan Under The Three di tahun 2008. Tahun lalu ia menjadi produser di film putrinya The Mirror Never Lies dan ternyata juga mengerjakan film Mata Tertutup dan diputar disekolah-sekolah. Sarat akan kontroversi mungkin menjadi alasan Mata Tertutup diputar terbatas tahun lalu. Tahun ini, film dengan minim pemain tersebut dirilis di jejaring bioskop dan sempat pula ditarik kembali penayangannya sampai akhirnya kembali diputar regular.
Mata Tertutup bercerita tentang tiga kehidupan beragama di Indonesia yaitu Rima (Eka Nusa Pertiwi) yang terjebak dalam NII (Negara Islam Indonesia), Jabir (M. Dinu Imansyah) seorang remaja yang menjadi pengebom bunuh diri karena terdorong oleh kondisi keluarga dan kesulitan ekonomi dan Asimah (Jajang C. Noer) seorang ibu yang kehilangan Aini, anak gadis saatu-satunya yang ia miliki menjadi korban penculikan orang-orang dari kelompok Islam Fundamentalisme.
Berbicara mengenai jajaran pemainnya, mungkin yang paling anda kenal adalah Jajang C. Noer, aktris senior yang selalu memberikan penampilan yang baik disetiap filmnya. Memerankan sosok ibu yang gelisah karena kehilangan anak perempuannya, beliau yang dalam film ini juga luwes berdialog padang kembali menunjukkan akting yang memukau. Namun tidak hanya Jajang yang bermain baik dalam film ini. Pemain lain seperti M. Dinu Imansyah dan Eka Nusa Pertiwi yang notabene adalah pemain-pemain baru terbilang berhasil memainkan karakter mereka masing-masing.
Diproduksi dengan biaya yang teramat murah dan hanya menggunakan kamera foto canon 5D, Mata Tertutup berhasil memberikan sebuah suguhan yang tidak miskin kualitas. Hal ini tentu membuktikan anggapan bahwa  film berbujet murah pun terbukti mampu dieksekusi menjadi film yang baik. Soal mahal tidaknya biaya produksi kembali kepada tim kerja yang solid dan berkinerja baik tentunya.
Terlepas dari kontroversi yang begitu dekat dengan film ini, sejujurnya Mata Tertutup bukanlah film yang pantas untuk kita lewatkan begitu saja. Mata Tertutup mengajarkan banyak hal dan memiliki tujuan yang jelas sebagai propaganda antikekerasan dan antifundamentalisme. Semuanya tergambar begitu jelas di film yang diproduksi hanya 9 hari ini.